Hukum Suami Menolak Ajakan Berhubungan Istri
Mau tanya Ust
Jika suami yg menolak ajakan istri utk jima’. Samakah hukumnya dg istri yg menolak jima’?
Hamba Allah, di Jateng.
Jawaban:
Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.
Tentang istri yang menolak berhubungan dengan suami tanpa uzur, telah dijelaskan dalam hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)
Kami tambahkan keterangan “tanpa uzur“, karena jika istri menolak karena alasan beruzur, seperti sakit, kelelahan, atau suaminya yang bersikap kurang ajar, tidak memenuhi hak istri, maka jika sang istri menolak tidak terkena ancaman hadis ini. (Lihat: Faidhul Qodir 1/344)
Apakah hukuman di atas berlaku sama kepada suami yang menolak berhubungan dengan istri tanpa uzur?
Tidak berlaku sama. Karena dalam hukuman seperti ini tidak bisa diberlakukan analogi (qiyas). Syekh Kholid Al Muslih menerangkan,
أما شمول الوعيد الوارد في حديث أبي هريرة فمحل نظر؛ لأن النص جاء خاصاً في امتناع المرأة من زوجها، والقياس في مثل هذا ممتنع، والله أعلم.
“Adapun keberlakuan ancaman pada hadis di atas, pada suami yang menolak ajakan berhubungan istri, maka tidak tepat. Karena hadis di atas berkaitan masalah khusus: istri yang menolak ajakan suaminya. Dalam hal seperti ini tidak bisa memberlakukan qiyas.” (Dikutip dari :https://ar.islamway.net/fatwa/41037/-وجوب-إعفاف-الرجل-زوجته)
Ancaman hadis di atas berlaku khusus untuk istri, karena:
– Pada umumnya istri adalah pihak yang dipinta, adapun suami adalah yang meminta, jarang istri yang meminta. Dan penolakan tidak mungkin terjadi kecuali dari pihak yang dipinta. Hadis di atas bicara tentang seorang yang menolak. Sehingga ancaman pada hadis di atas lebih dominan ditujukan kepada pihak yang penolakan lebih sering terjadi padanya, yaitu yang berstatus dimintai / istri.
– Wanita lebih kuat bersabar menahan syahwat biologis dibandingkan pria. Sehingga dampak negatif dari tidak tersalurkannya kebutuhan biologis pria, lebih besar daripada yang dampak dari yang tidak kebutuhan biologis wanita.
– Tabiatnya pria, tidak bisa diajak berhubungan kecuali telah muncul gairahnya. Berbeda dengan wanita yang tabiatnya adalah obyek seksual (jimak), dia bisa melakukan jimak baik telah muncul gairah ataupun belum.
(Alasan-alasan di atas disimpulkan dari keterangan Dr. Sami bin Abdulaziz al-Majiddi di islamtoday.net. Beliau adalah dosen di Universitas Muhammad bin Su’ud, Riyadh, Saudi Arabia)
Lantas apakah hukuman untuk suami yang menolak jimak? Bukankah kesimpulan ini menunjukkan tidak adil kepada wanita?
Maha suci Allah dan syari’at-Nya dari tuduhan ini. Islam adalah agama terbaik dan paling sempurna yang diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Aturannya hikmah dan penuh keadilan. Prasangka seperti itu muncul karena kedangkalan ilmu dan akal kita. Setelah seorang mengilmui, maka seorang akan semakin berdecak kagum dengan agama ini. Oleh karenanya Allah ta’ala mengatakan,
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Hamba – hamba Allah yang paling takut kepada-Nya, adalah orang-orang yang berilmu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun. (QS. Fathir : 28)
Dalam memahami sebuah hukum syariat, tidak hanya melalui satu dalil. Namun perlu juga melihat pada dalil lain karena semua dalil Qur’an dan Sunnah saling menguatkan dan menafsirkan. Dijelaskan dalam dalil-dalil yang lain, suami yang menolak ajakan berhubungan istrinya, dia telah melanggar hadis – hadis berikut :
[1] Hadis Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma.
Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته ، فالأمير الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيته ، والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم ، والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم ، والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ، ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang orang yang dipimpinnya. Seorang Amir (pemimpin negara) adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyat yang dipimpinnya. Seorang lelaki/suami adalah pemimpin bagi keluarga nya dan ia akan ditanya tentang mereka. Wanita/istri adalah pemimpin terhadap rumah suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang orang yang dipimpinnya.” (HR. Muslim)
[2] Hadis Mi’qol bin Yasar.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
أيُّما راعٍ استرعى رعية فغشها فهو في النار
Pemimpin siapa saja yang menipu rakyatnya, maka dia di neraka. (HR. Bukhori, Muslim dan Ahmad)
[3] hadis Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
ثلاثة لا ترفع صلاتهم فوق رءوسهم شبرا : رجل أم قوما ، وهم له كارهون ، وامرأة باتت وزوجها عليها ساخط ، وأخوان متصارمان
“Tiga orang yang shalat mereka tidak akan terangkat melebihi kepala mereka walau sejengkal saja: seseorang yang mengimami satu kaum semetara mereka membencinya, wanita yang tidur semetara suaminya marah kepadanya, dan dua saudara yang saling memutuskan hubungan.” (HR. Ibnu Majah)
[4] Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إن الله سائل كل راع عما استرعاه ، أحفظ ذلك أم ضيع ؟ حتى يسأل الرجل عن أهل بيته
“Sesungguhnya Allah akan meminta setiap pemimpin untuk bertanggung jawab. Apakah dia menjaga tanggung jawab itu atau dia lalai? Sampai-sampai, seorang lelaki akan diminta bertanggung jawab atas keluarganya.” (HR. Ibnu Hibban, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ghayatul Maram, no. 271)
[5] Hadis yang lain Nabi shalallahu alaihi wa sallam menerangkan,
ما من عبد يسترعيه الله رعية فلم يحطها بنصحه إلا لم يجد رائحة الجنة
“Tidaklah seorang hamba dibebankan tanggung jawab oleh kemudian dia abai, melainkan dia pasti tak mencium aroma surga.” (HR. Bukhari)
[6] Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت
“Seseorang sudah pantas disebut berdosa bila dia menyepelekan tanggung jawabnya.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud; riwayat dari Ibnu Umar; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 827)
Serta masih banyak ayat dan hadis lain yang menjadi ancaman untuk para suami yang menyia-nyiakan hak istrinya.
Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk dapat menunaikan hak orang-orang yang memiliki hak atas kita.
****
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/36079-hukum-suami-menolak-ajakan-berhubungan-istri.html